Thursday, August 12, 2021

Manusia Baliho

Dua baliho itu benar2 gagah mendominasi ruang di jalan MT Haryono. Mencolok mata hati yg lewat. Siapapun itu. Dosen yg necis, pengusaha yg diambang bangkrut, pelapak yg lagi susah jualan, sopir ambulan yg padat mengantar mayat......mereka mesti tertatap perhatiannya oleh baliho itu. Mungkin arwah arwah yg pulang karena pandemi ini juga mengerlingkan mata ke baliho itu. Dua baliho itu tepat di depan kampus FIA. Fakultas tempatnya para aktivis. Dulu. Di situ memang selalu jadi favorit untuk diskusi, menulis, demo maupun kegiatan seni budaya. Teringat saat ada lomba antar club band amatir disitu. MC nya berparas cantik mungil. Wajahnya seakan tidak bergincu. Sepatunya pun bukan yg high heels. (Tapi juga bukan sandal jepit spt yg dipersembahkan kepada Bapak mentri dulu itu). Tampilan apa adanya justru membuatnya lbh menarik. Spontan aku ambil setangkai bunga sepatu, yg kebetulan tumbuh kurang terawat di pagar. Dengan satu tangan dipunggung aku serahkan ke si cantik. Di atas panggung itu dia terima begitu saja. Aku tahu, memang tidak ada pilihan selain menerimanya. Dia mesti menjaga suasana panggung. Di luar panggung dia tidak pernah lagi membahas bunga sepatu itu. Pun sampai bbrp kesempatan ngobrol. Sampai bbrp hari berikutnya. Saat main ke rumahnya Griyasanta itu ku tanya: kenapa tidak kamu tolak aja bunga sepatu saat di panggung itu? Dia hanya tersipu. Cukup bagiku. Cukup PD karena ungkapan bunga sepatu itu ada jiwa dibaliknya. Walau tak segagah ungkapan dua baliho itu. Tapi entahlah, apakah anda kira juga ada jiwa dibalik baliho itu. Karena jiwa dan nurani mbak Maharani dan pak Airlangga pun tidak berada dibalik baliho itu. Mereka sedang fokus menangani pandemi yg semakin banyak merenggut jiwa. Setidak2nya nurani mereka sedang berduka. Para aktivis rupanya bijak memahaminya. Pun mereka bisa berasumsi pemesan baliho itu telah membayar pajak. Maka, para aktivis tidak perlu repot2 menurunkan baliho itu, apalagi menggoyang penguasa seperti di Malaysia kini.